Konsep Dan Ajaran Agama Shinto
Sumber: https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Shint%C5%8D_prayer.jpg |
1.
Konsep tentang Ketuhanan
Agama Shinto mempercayai bahwa semua benda, baik yang hidup maupun
yang mati, dianggap memiliki roh atau spirit, bahkan kadang-kadang dianggap
memiliki kemampuan bicara. Dalan keyakinan mereka, semua roh dianggap memiliki
kekuasaan yang berpengaruh terhadap kehidupan penganut Shinto. Daya-daya
kekuasaan inilah yang mereka sebut Kami.
Menurut agama Shinto, Kami
dapat diartikan “di atas” atau “unggul”, sehingga apabila dimaksudkan untuk
menunjukkan suatu kekuatan spiritual, maka kata Kami dapat diartikan
dengan “dewa”, Tuhan, atau sejenisnya. Dengan demikian, bagi penganut agama
Shinto, kata Kami berarti suatu objek pemujaan yang berbeda
pengertiannya dengan pengertian objek-objek pemujaan yang ada dalam agama lain.
Motoori Norinaga, seorang sarjana dan pembaharu agama Shinto pada zaman modern
mengatakan bahwa pada mulanya, istilah Kami diterapkan terhadap dewa-dewa
langit dan bumi yang disebutkan dalam dokumen-dokumen kuno tertulis, dan
trerdapat spirit-spirit (mitama) yang mendiami tempat-tempat suci,
tempat mereka dipuja. Selain itu, bukan hanya manusia, tetapi juga
burung-burung, binatng-binatang, tetumbuhan dan pohon-pohon, laut dan
gunung-gunung, serta semua benda lain, apapun bentuknya yang patut ditakuti dan
dipuja karena memiliki kekuasaan yang tinggi dan luar biasa, semuanya disebut Kami.
Kami juga tidak memerlukan sifat-sifat yang istimewa karena memiliki
kemuliaan, kebaikan, atau kegunaan yang khusus. Segala kewujudan yang jahat dan
mengerikan juga disebut Kami apabila merupakan objek-objek yang pada
umumnya ditakuti.
Dari penjelasan
tersebut maka dapat diketahui bahwa konsepsi yang mendasari kedewaan dalam
agama Shinto terdiri atas empat hal.[1]
1. Dewa-dewa yang pada umumnya merupakan personifikasi dari gejala
alam itu dianggap dapat mendengar, melihat, dan lain sebagainya, sehingga harus
dipuja secara langsung.
2. Dewa-dewa tersebut dapat terjadi atau merupakan penjelmaan dari roh
manusia yang sudah meninggal.
3. Dewa-dewa tersebut dianggap mempunyai spirit (mitama) yang
beremanasi dan berdiam di tempat-tempat suci di bumi sekaligus mempengaruhi
kehidupan manusia. Kami ini bisa berasal dari orang yang telah meninggal
dunia atau ada juga yang berasal dari benda alam.
4. Pendekatan manusia terhadap dewa- dewa tersebut bertitik tolak pada
perasaan segan dan takut.[2]
Dalam
kepercayaan agama Shinto, jumlah dewa yang dipuja tidak terbatas, bahkan
senantiasa bertambah, seperti diungkapkan dalam istilah yao-yarozu no kami,
yang berarti “delapan miliun dewa”. Menurut agama ini, kepercayaan terhadap
begitu banyaknya jumlah tersebut justru dianggap mempunyai pengertian yang
positif. Sebuah angka yang besar berarti menunjukkan bahwa para dewa itu
memiliki sifat yang Agung, Maha Sempurna, Maha Suci, atau Maha Murah. Oleh
sebab itu, angka-angka seperti 8, 80, 180, 5, 100, 10, 50, 100, 500, dan
seterusnya, dianggap sebagai angka-angka suci karena menunjukkan bahwa jumlah
para dewa itu tidak terbatas jumlahnya. Dan, seperti halnya jumlah angka dengan
bilangannya yang besar, maka bilangan itu juga menunjukkan sifat kebesaran dan
keagungan dari Kami.
2.
Konsep Ibadah
Agama Shinto
tidak memiliki bentuk peribadatan yang sudah ditentukan waktu pelaksanaannya.
Setiap pemeluk agama Shinto akan mengunjungi tempat suci jika menghendakinya;
bisa setiap tanggal 1 atau 15 tiap bulan atau pada saat penyelenggaraan
matsuri. Tetapi pemeluk yang taat akan melakukan pemujaan dewa setiap hari.
Pada pagi hari, setelah bangun tidur dan membersihkan diri menuju altar
keluarga; di sini ia akan membungkukkan
badan, bertepuk tangan dua kali, diam sebentar dengan sikap hormat dan khidmat,
baru kemudian melakukan aktivitas keseharian. Pada kesempatan lain, ia akan
menghadap kea rah matahari, gunung, tempat suci Ise atau lainnya, kemudian
bertepuk tangan dua kali dan membungkuk sebentar dalam sikap hormat dan khidmat
sebelum pergi. Adapun tempat yang paling baik untuk melakukan peribadatan
adalah jinja.[3]
Jinja merupakan sebuah bangunan yang sengaja didirikan untuk memuja kami,
dewa dalam agama Shinto. Hampir
semua bentuk peribadan atau upacara keagamaan yang dilakukan di jinja
pada hakikatnya merupakan upacara pensucian dalam rangka menyambut kehadiran Kami.
Syarat utama untuk memuja Kami yaitu kesucian dan bersih dari bermacam
kekotoran, seperti penyakit, luka, dan menstruasi. Kekotoran dianggap sebagai
keadaan yang dapat menyebabkan
terjadinya kesengsaraan dan merusak upacara keagamaan.
Upacara
keagamaan yang dilakukan di jinja dapat dibedakan dalam tiga tahapan: Pertama,
upacara pensucian pendahuluan (kessai); kedua, upacara pensucian (harai);
ketiga, upacara persembahan sesaji. Ketiga upacara ini utuk membantu manusia
menemukan kembali kesucian diri dan ketulusan hati yang sebenarnya serta
menolong agar dapat hidup dalam kondisi kehidupan memuja Kami dengan
kesungguhan.
3.
Ajaran-ajaran Pokok Agama Shinto
1.
Ajaran tentang KAMI
Istilah “Kami” diartikan “ di atas” atau “unggul”, yang
secara spiritual diartikan dengan “dewa”, Tuhan, God, dan sebagainya. “ bagi
bangsa Jepang istilah “Kami” yang menjadi suatu objek pemujaan berbeda
pengertiannya dengan pengertian objek pemujaan yang ada dalam agama lain, dan
dimana istilah tersebut bisa berarti tunggal dan jamak sekaligus, karena dewa
dalam agama Shinto jumlahnya tidak terbatas, senantiasa bertambah, diungkapkan
dalam istilah yao-yarozu no Kami, “delapan milun dewa”.[4]
Bangsa Jepang kuno menggunakan istilah Kami terhadap
kekuatan dan kekuasaan yang terdapat dalam berbagai objek, tanpa membedakan
apakah objek itu benda hidup atau mati, bersifat baik atau buruk. Semua yang
memiliki sifat-sifat misterius dan menimbulkan rasa segan dan takut dianggap
sebagai Kami. Pendapat yang hampir senada, Kami berarti dewa atau
tuhan. Kata ini mencakup sekian nama dewa terkenal di masyarakat jepang ( dan
Asia) kala. Dalam pengertian lain, Setiap wujud yang bersifat independen
merupakan anggota dari sekumpulan Kami. Indikasi lain dari kata Kami adalah
wibawa, mukjijat, dan segala sesuatu yang menyerupai atau mendekati substansi
ketuhanan
“Pada mulanya
istilah kami diterapkan terhadap dewa-dewa langit dan bumi yang disebutkan dalam
catatan-catatan kuno, dan juga terhadap spirit mereka (mitama) yang mendiami
tempat-tempat suci, tempat mereka di puja. Dan lagi bukan manusia, tetapi
burung-burung, bintang, tetumbuhan dan pohon-pohon, laut dan gunung-gunung dan
semua benda lain, apa pun bentuk nya yang patut ditakuti dan dipuja sebab
kekuasaan yang luar biasa dan tinggi yang mereka miliki, semua disebut kami.
Wujud yang jahat dan mengerikan juga disebut kami. Diantara kami yang berwujud
manusia adalah Mikados, yang diantaranya adalah Guntur (dalam bahasa jepang
kami Naru atau dewa suara); naga, gema (kodama atau spirit pohon) dan rubah
yang dianggap kami karena menakutkan; harimau dan serigala, laut dan
gunung-gunung; wujud yang menakutkan.”[5]
Berdasarkan kutipan tersebut terdapat empat hal yang mendasari
konsepsi kedewaan dalam agama Shinto, yaitu:[6]
a. Dewa tersebut merupakan personafikasi gejala alam.
b. Dewa tersebut dapat pula berarti manusia.
c. Dewa tersebut dianggap mempunyai spirit yang mendiami tempat-tempat
dibumi dan mempengaruhi kehidupan manusia.
d. Pendekatan manusia terhadap dewa-dewa tersebut bertitik tolak dari
perasaan segan dan takut.
2.
Ajaran tentang Manusia
Konsep tentang
manusia dapat ditelusuri dari kepercayaan akan adanya garis kesinambungan
antara Kami dan manusia. Kami diyakini bukan merupakan sesuatu
kekuasaan yang mutlak dan transenden atas manusia. Oya-ku, suatu hubungan
antara orangtua dan anak, atau antara nenek moyang dan keturunannya. Hal ini
digambarkan dalam mitologi garis keturunan kaisar pertama Jepang, yang diyakini
sebagai keturunan Dewa Matahari. Jadi, “Manusia adalah putra Kami”.
Ungkapan yang mengandung dua pengertian: pertama, kehidupan manusia
berasal dari Kami, sehingga dianggap suci; kedua, kehidupan sehari-hari
adalah pemberian dari Kami.[7]
Manusia disebut
dengan hito yang berarti “tempat tinggal spirit”, yang dalam bahasa
Jepang kuno disebut ao-hito-gusa (rumput-manusia-hijau) untuk
memperbandingkan manusia dengan rumput hijau yang tumbuh subur. Selain itu,
manusia dapat disebut pula ame no masu hit (manusia langit yang berkembang),
maknanya adalah makhluk suci yang memiliki kemampuan tidak terbatas. Setiap
pemeluk agama Shinto, idealnya wajib menyadari bahwa ia memiliki asal-usul yang
suci, jasmani yang suci, dan tugas yang suci, dan harus hidup bekerjasama untuk
membangun sebuah dunia yang sejahtera.[8]
3.
Ajaran tentang Dunia
Agama Shinto
termasuk tipe agama”lahir satu kali”, dalam arti, memandang dunia ini sebagai
satu-satunya tempat kehidupan bagi manusia. Dalam pemikiran Shinto ada tiga
jenis dunia, yaitu: (1) Tamano-hara, berarti “tanah langit
tinggi”, sebuah dunia suci, rumah, dan tempat tinggal para dewa langit (Amatsukami);
(2) Yomino-kuni, dunia yang dibayangkan sebagai dunia yang gelap,
kotor, jelek, menyengsarakan, tempat orang-orang yang sudah meninggal dunia;
(3) Tokoyono-kuni, berarti “kehidupan yang abadi”, “negeri yang
jauh di seberang lautan”, atau “kegelapan yang abadi”, yakni dunia yang
dibayangkan penuh dengan kenikmatan orang-orang yang kedamaian, dianggap
sebagai tempat tinggal arwah orang-orang yang meninggal dalam keadaan suci.
Ketiga dunia ini sering disebut kakuriyo (dunia yang tersembunyi), dan dunia
tempat tinggal manusia disebut ut-sushiyo (dunia yang terlihat atau dunia yang
terbuka). [9]
Dalam agama
Shinto, langit bersifat suci. Mitologi menyatakan ketika terjadinya penciptaan,
unsur-unsur alam yang halus berubah menjadi langit, dan unsur-unsur yang berat
berubah menjadi bumi. Takama-no-hara dianggap sebagai dunia yang cemerlang yang
segala sesuatunya lebih baik dari dunia ini dan menjadi tempat tinggal para
Dewa Langit. Adapun dunia ini adalah tempat tinggal para dewa yang hidup
dibumi, disebut kuni-tsu-kami. Dalam mitologi disebutkan bahwa para dewa
turun dari langit untu menciptakan kedamaian dan kesejahteraan di muka bumi.
Meski demikian, bukan berarti bahwa dunia langit secara esensial berbeda dengan
dunia bumi, tetapi hanya merupakan dunia yang lebih baik dari dunia manusia.
Jika dibandingkan dengan dunia orang mati (Yomi) , maka dunia langit
adalah dunia ideal.
Motoori
Norinaga menyatakan, bahwa dunia manusia ini akan senantiasa tumbuh dan
berkembang serta berubah terus menerus. Oleh karena itu, agama Shinto tidak memiliki
ajaran tentang hidup di hari kemudian atau hidup setelah mati, karena dunia
tempat tinggal manusia tidak akan musnah.
Berdasarkan pandangan ini, maka saat-saat kehidupan manusia di dunia
sekarang ini merupakan saat-saat yang penuh dengan nilai, dan setiap pemeluk
Shinto diharuskan bdrperan aktif dalam perkembangan dunia yang abadi dan harus
memanfaatkan setiap saat dalam kehidupan semaksimal mungkin.[10]
Dengan
demikian, agama Shinto lebih menekankan pada pandangan yang lebih berorientasi
kekinian dan keduniaan, pandangan keduniaan yang menjadikan kehidupan dunia
sekarang adalah satu-satunya dunia untuk kehidupan manusia.[11]
4.
Ajaran tentang Etika
Menurut D.C.
Holten, ahli sejarah Jepang, menyatakan bahwa orang-orang Jepang dilahirkan
dalam ajaran Shinto, kesetiaannya terhadap kepercayaan dan pengalaman ajarannya
menjadi kualifikasi pertama sebagai “orang Jepang yang baik”.
Beberapa ajaran
yang berkaitan dengan kepribadian terkandung dalam ajaran kesusilaan yang
biasanya dilakukan para bangsawan atau para ksatria Jepang, antara lain:[12]
a. Keberanian dianggap sebagai suatu keutamaan pokok dan ditanamkan
pada anak dalam masa permulaan hidupnya. Sikap keberanian dinyatakan dengan
semboyan: “Keberanian yang benar untuk hidup ialah bilamana hal itu benar
untuk hidup, dan untuk mati bilamana hal itu benar untuk mati”.
b. Sifat penakut dikutuk, karena sifat ini dipandang dosa. “Semua
dosa besar dan kecil dapat diampuni dengan melalui cara tobat, kecuali
penakut dan pencuri”.
c. Loyalitas, yaitu setia, kesetian pertama kepada Kaisar, kemudian
meluas kepada seluruh anggota keluarga Kaisar, pada masyarakat dan pada
generasi yang akan dating.
d. Kesucian dan kebersihan adalah suatu hal yang sangat penting dalam
Shintoisme, oleh karenanya dalam faham ini terdapat upara-upacara pensucian.
Orang tidak suci adalah berdosa, karena berarti melawan dewa-dewa.
Atas pengaruh
ajaran keberdsihan dan kesucian ini, maka soal “mandi” termasuk perbuatan
utama, sehingga dijadikan salah satu upacara keagamaan. Kamar atau tempat mandi
dipandang sebagai tempat yang menarik hati bagi semua orang, sedang waktu mandi
ditetapkan sebagai tradisi, misalnya 2 jam di waktu sore antara jam 17.00 dan
19.00 sebelum makan malam. Banyak terdapat upacara-upacara ditetapkan dengan
melalui permandian.
Demikianlah,
pokok-pokok ajaran dan kepercayaan Shintoisme yang selanjutnya dapat kita
bandingkan dengan ajaran-ajaran agama lain yang termasuk dalam klasifikasi
ardhiyyah (alamyyah).[13]
Berikut video bagaimana pemeluk agama Shinto memanggil Kami (Dewa) yang berada di kuil Fushimi Inari:
[13] M Arifin, Menguak Misteri Ajaran-Ajaran Agama Besar, (Jakarta: PT
Golden Trayon Press, 2002), h. 54
Konsep Dan Ajaran Agama Shinto
Reviewed by Kelompok 7
on
November 21, 2017
Rating:
Tidak ada komentar