Asal-Usul Dan Sejarah Agama Shinto

Sumber: hhttp://rojaycreativ.blogspot.co.id/2015/01/sekilas-mengenai-agama-shinto.html

Wilayah Jepang terdiri atas empat pulau besar, yaitu Hondo, Hokkaido, Shikoku, dan Kyushu, beserta ribuan pulau kecil. Penduduk asli kepulauan itu sepanjang arkeologi dan antropologi, demikian L. Langer di dalam Encyclopedia of World History edisi 1956, erat berkaitan dengan suku Tunggus dan suku Korea berdasarkan pembuktian linguistic. Sepanjang pembuktian ethnografis dan mithologis, demikian William L. Langer. Terpadu kedalamnya unsur belahan selatan Tiongkok beserta unsur  Melayu dan Asia Tenggara dan unsur Polynesia. Pada masa sebelumnya unsur Ainu agak dominan disitu.[1]
Suatu suku dari pulau Kyushu yang terletak pada belahan selatan, dan suku itu belakangan membentuk imperium, menyebrang ke utara menuju lembah Yamato (Nara) di pulau Honsyu. Ia memperoleh kemenangan dalam persaingan kekuasaan dengan suku Izumo yang punya pertalian darah dengan suku Korea. Melalui peperangan dengan suku lainnya, termasuk suku Ainu, berhasil membentuk sebuah imperium dan naik berkuasa kaisar Jepang yang pertama-tama pada tahun 660 sebelum Masehi, yaitu Kaisar Jimmu Tenno.
Bentuk susunan social di Jepang dewasa itu terdiri atas himpunan berbagai suku (uji), yang satu persatu suku itu dibawah pimpinan seorang kepala-suku (uji-no-kami). Anggota suatu suku itu menyatakan turunan satu moyang, yang bisasanya dewa suku (ujigami). Kepala suku bertindak sebagai duta dalam upacara pemujaan terhadap dewa suku, dan kekuasaannya bersifat kepadrian. Kepala suku dan keluarganya seringkali beroleh berbagai gelaran (kabane), yang dalam perkembangannya bersifat hirarki. Di dalam lingkungan suku berda kelompok-kelompok kerja yang bersifat warisan (tomo), yang serupa dengan kedudukan di Barat.[2]
Suku yang memegang tampuk kekuasaan didalam imperium membikin dewa-suku menjadi dewa-nasional. Dua suku yang punya kedudukan penting ialah suku Omi dan suku Miraji. Para kepala dari suku Kumo, Otomo, Monobe, menempati kedudukan sebagai panglima kerajaan. Sedangkan kepala suku Imube (Imibe atau Imbe) menjabata urusan upacara-upacara keagamaan. Jepang itu sepanjang sejarah sering berbenturan dengan korea dan tiongkok dan perbenturan itu meninggalkan jejak-jejak dijepang.[3]
          Agama Shinto adalah agama yang tumbuh dan berkembang di negara Jepang. Jepang adalah sebuah negara yang rakyatnya memiliki kehidupan beragama yang cukup rumit. Di negara ini, sekurang-kurangnya tercakup 5 faham keagamaan, yaitu agama rakyat, Shinto, Budhisme, Taoisme, dan Konfusianisme. Agama Shinto diperkirakan sudah ada sekitar 2.500-3000 tahun yang silam di Jepang. Beberapa ahli sejarah dan agama menyebutkan bahwa kepercayaan yang ada dalam agama Shinto sudah mulai dikenal pada periode Yayoi (300 SM). Namun, ada juga yang mengatakan bahwa Shinto adalah agama Jepang kuno yang lahir sekitar 500 SM. Agama ini timbul pada zaman prasejarah, dan pembawanya tidak diketahui secara pasti. Agama Shinto tumbuh dan berkembang dalam lingkungan penduduk, bukan datang dari luar.
          Mula-mula kepercayaan orang jepang purba sangat  sederhana, belum terorganisir dan hanya merupakan pemujaan alam, arwah nenek moyang dan serba jiwa (animis); tidak mempunyai patung-patung, kitab suci, pendeta atau ajaran normal. Mereka meyakini, matahari,bintang, bulan, Guntur, hujan, gejala-gejala alam dan semua benda baik yang hidup atau mati dianggap memiliki spirit (roh) yang diyakini memiliki daya kekuasaan yang berpengaruh bagi kehidupan. Daya kekuasaan ini bisa berbuat kebaikan dan kejahatan, karenanya supaya selalu mendatangkan kebaikan maka harus dipuja. Jika ingin hujan turun, mereka pergi kelaut dan memuja sungai supaya mendatangkan hujan. Jika menghendaki hujan berhenti atau matahari tidak terlalu panas, mereka memuja matahari seterusnya. Tiap-tiap suku juga mempunyai dewa sendiri yang kadang-kadang dianggap sebagai nenek moyangnya. Dewa-dewa digambarkan seperti manusia sebagaimana dalam legenda terjadinya kepulauan jepang dan memiliki kekuasaan. Daya-daya kekuasaan ini, baik yang terdapat dalam gejala alam maupun pada dewa-dewa dan menjadi obyek pemujaan, diberi nama Kami.[4]
          Agama Shinto adalah agama warisan Nenek Moyang atau agama lokal di Jepang yang secara turun temurun ada generai penerusnya. Pada awalnya, kepercayaaan masyarakat Jepang disebut “Kami no Michi”, yang bermakna jalan dewa. Nama Shinto baru digunakan setelah masuknya agama Budha dan Konfusius. Pemberian nama Shinto sebenarnya dimaksudkan untuk menyebut kepercayaan asli bangsa Jepang.[5] Nama Shinto dari beberapa pendapat, yakni dianggap sebagai perubahan bunyi dari Tien-Tao, yang bermakna ‘jalan langit’ dari aliran Chan, sebuah sekte agama Budha mazhab Mahayana di Tiongkok, dan menjadi aliran Zen sewaktu berkembang di Jepang. Shinto berasal dari kata majemuk “Shin” dan “To”. Arti kata “Shin” adalah Roh dan “To” adalah “jalan”. Jadi Shinto mempunyai arti lafziyah “jalannya roh”, baik roh yang telah meninggal maupun roh-roh langit dan bumi. Namun ada pendapat lain dari bahasa Cina yaitu “Shen-Tao” untuk membedakan antara Kami-no-michi, jalan para dewa bangsa Jepang dengan Butsodo atau Budha-Thao, Jalan Budha.[6] Dalam istilah Shinto atau disebut dengan Shintoisme adalah paham yang berbau keagamaan yang khusus dianut oleh bangsa Jepang samapai sekarang. Shintoisme merupakan filsafat religius yang bersifat tradisional sebagai warisan nenek moyang bangsa Jepang yang dijadikan sebagai pegangan hidup. Tidak hanya rakyat Jepang yang harus menaati ajaran Shintoisme, melainkan pemerintah juga harus menjadi pewaris serta pelaksana agama dari ajaran ini.[7]
          Dalam beberapa literatur mengatakan bahwa agama Shinto di bawa atau dikenal kan sejak zaman suku Yamato kira-kira abad ke 4 Masehi, suku Yamato berhasil menguasai Jepang bagian tengah dan selatan. Lambat laun mite suku Yamato dingaap mempunyai mite dan tradisi yang lebih unggul dari pada suku lainnya pada saat itu dan dijadikan dasar utama kepercayaan masyarakat Jepang tentang asal-usul kedewaan dan kelebihan bangsa Jepang dengan bangsa-bangsa liannya. Asal-usul mengenai alam dan dunia ini, khususnya kepulauan Jepang. Mereka mempercayai ada 3 dewa yang muncul dalam pembentukan alam dan dunia, yang merekan sebut dengan Tiga Kami Pencipta. Kemudian muncul pula dua dewa selanjutnya yang memperoleh perhatian dan tempat istimewa dalam agama Shinto, yaitu dewa Izanagi dan dewi Izanami. Keduanya menciptakan kepulauan Jepang lengkap dengan para dewanya. Seperti dewa air, dewa bumi, dewa gunumg dan sebagainya, dan hal-hal penting yang berkaitan dengan alam ini. Setalah melahirkan dewa api, Izanami menginggal dunia, dan kemudian menjadi Dewi Tanah Yomi, tempat orang-orang yang telah mati. Ketika Izanagi pergi mengunjungi ostrinya yang telah mati ia melanggar suatu pantangan sehingga membuat dririnya kotor dan berdosa, oleh karena itu Izanagi membersihkan diri dengan melakukan upacara pensucian. Ketika sedang melaksanakan pensucian di air, mata sebelah kirinya keluar Dewi Matahari, Amaterasu, dan mata sebelah kanannya terjadi Dewi Bulan, Tsuki Yomi. Dewi Amaterasu mempunyai seorang cucu yang bernama Ninigimiko, yang ditugaskan untuk memerintah dunia disertai jaminan bahwa ia akan memerintah dunia untuk selama-lamanya. Ia turun di daerah Kyushu. Putranya, Jummu Tenno, adalah kepala suku Yamato yang pertama dan juga kaisar Jepang pertama kali. Dari garis inilah kemudian agama Shinto menanamkan kepercayaan di kalangan masyarakat Jepang. Saat suku Yamato berkuasa, kultus dan keragaman tradisi keagamaan mulai dipersatukan dan terorganisasikan ke dalam suatu bentuk pemerintahan agaman dengan suatu sitem ritus yang dipusatkan pada Dewi Matahari, meskipun masih dalam keadaan tanpa nama. [8]
        Bangsa Jepang kemudian bertemu dengan kebudayaan Tiongkok, yang sudah memiliki kepercayaan terorgaisir yaitu agama Tao, Konfusious dan Buddha memasuki Jepang. Kira-kira abad ke 4 M, agama Konfisius memasuki Jepang. Pada Tahun 405, seorang sarjana korea bernama Wani memperkenalkan ajaran etika Konfusius dan berbagai paham dualism Tao. Dalam pembaharuan yang dilakukan pada tahun 645 M agama Konfusius memainkan peran penting. Pengaruhnya mewarnai bahasa, tingkah laku dan kesadaran moral rakyat Jepang, sehingga sulit membedakan unsur-unsur Konfusius dengan yang bukan Konfusius. Sesudah pembaharuan kekaisaran pada pertengahan abad 19, keterkaitan agama Konfusius dan agama Shinto sangat kuat dan perpaduan moral dan tingkah laku bangsa Jepang dalam kehidupan sehari-hari. Baru pada saat berakhirnya Perang Dunia II mengalami perubahan, meskipun dalam tataran pengaruh pemikiran religious Konfusius tetap berakar kuat dalam kehidupan spiritual masyarakat Jepang sekarang, meskipun tidak pernah disusun dalam bentuk organisasi keagamaan yang berdiri sendiri.[9]
         Pada pertengahan abad ke-6 agama Budhha mulai memasuki Jepang melewati korea. Saat itu sebuah pemerintahan kecil di semenanjung Korea mengirim delegasi ke Jeepang, selain membawa berbagai hadiah juga membawa juga membawa sebuah patung kecil dan beberapa kitab pengajaran agama Buddha. Beberapa penguasa di Jepang menerima agama Budhha sebagai pedoman hidup diantaranya, pangeran Shotoku, di bawah pemerintahan Ratu Suiko yang pertama-tama bersungguh-sungguh memahami pemikiran agama Buddha dan memeluknya dengan penuh kepercayaan. Ia banyak berperan dalam penrkembangan agama Buddha di Jepang, diantaranya mendirikan Vihara Horyuji. Vihara Horyuji ini adalah vihara pertama yang menjadi pusat belajar bagi orang-orang Budhha.[10]

          Pada abad ke -6 Masehi suku Yamato berkuasa, mulai lah pada abad itu masuk agama Budha masuk ke Jepang dari Tiongkok memlalui Korea. Satu abad kemudian, agama Budha berkembang dengan pesat, bahkan lama kelamaan mengalahkan popularitas agama lokal yang menjadi kepercayaan asli masyarakat Jepang. Untuk mempertahankan kelangsungan hidup agama Shinto, para pendetanya menerima dan memasukkan unsur-unsur  Budha kedalam sistem keagamaan mereka. Akibatnya, agama Shinto justru hampir kehilangan sebagian besar jati dirinya. Misalnya tempat-tempat ibadahnya, upacara keagamaannya dan sistem kepercayaan mereka telah dipengaruhi oleh agama Budha.[11]
Sejak tahun 701 M ketika untuk pertama kalinya undang-ungdang negeri Jepang disusun pada masa kaisar Taiho ssampai dengan tahun berakhirnya Perang Dunia II, prinsip utama kebijaksanaan yang diambil oleh pemerintah Jepang dalam bidang keagamaan  adalah pengawasan dan pengaturan terhadap agama yang ada. Pemerintah membeda-bedakannya menjadi agama-agama yang resmi diakui (illegal) dan agama-agama yang tidak diakui (ilegal). Pengakuan pemerintah terhadap sesuatu kelompok keagamaan berarti sekaligus pemberian hak-hak istimewa kepadanya berupa bimbingan dan perlindungan dari pemerintah. Sebaliknya, kelompok-kelompok keagamaan yang tidak diakui, tidak akan memiliki kebebasan untuk menyebarluaskan dan melaksanakan ajaran-ajarannya, bahkan juga memperoleh beban membayar pajak. Meskipun undang-undang Meiji tahun 1889 memberikan jaminan adanya kemerdekaan beragama namun kebijaksanaan semacam di atas tetap dipengang teguh oleh pemerintah. Pemerintah membedakan antara upacara keagamaan yang dilakukan dalam lingkungan  istana dan tempat-tempat suci agama Shinto dengan upacara yang dikejkan oleh kelompok-kelompok keagamaan lainnya. Kelompok yang pertama disebut dengan Kokka Shinto dan merupakan kelompok agama Shinto yang diakui resmi oleh pemerintah sehingga dapat dikatakan sebagai agama Negara. Kelompok yang kedua hanya akan diakui sebagai suatu kelompok keagamaan yang sah dan akan menikmati kemerdekaan beragama seperti yang dirasakan oleh kelompok agama Negara apabila mereka menggabungkan diri ke dalam istilah penggabungan yang sengaja ditetapkan oleh pemerintah yaitu Kyoha Shinto, sekte agama Shinto.[12]
Sejak masa restorasi meiji (1868-1912) hingga akhir perang dunia dua, Shinto merupakan agama resmi di Jepang. Agama Shinto yang mengajarkan penyembahan Kami, dapat diartikan sebagai dewa, roh alam, atau sekedar kehadiran spiritual. Namun, setelah perang dunia dua, Shinto kehilangan statusnya sebagai agama resmi.[13]
Sebagian ajaran dan kegiatan Shinto yang sebelumnya dianggap penting pada masa perang ditinggalkan dan tidak lagi diajarkan. Ada sebagian yang bertahan namun telah kehilangan konotasi keagamaannya, misalnya dengan prenyelenggaraan komikuji (semacam undian untuk menebak keberuntungan).
          Kemerosoatan agama Shinto terus berlangsung sampai abad ke-17, timbul lagi gerakan untuk menghidupkan kembali ajaran Shinto murni di bawah pelopor Kamamobuchi, Mitoori, Hirata, Narinaga, dan lain-lainnya dengan tujuan bangsa Jepang ingin membedakan jalannya Budha dengan roh-roh yang di anggap dewa oleh bangsa Jepang, untuk mempertahankan kelangsungan kepercayaannya. Apada abad ke-19 tepatnya tahun 1868, agama Shinto diproklamasikan menjadi agama negara yang saat itu agama Shinto mempunyai 10 sekte dan 21 juta pemeluknya. Sejak itu, dapat dikatakan bahwa paham Shintoisme merupakan ajaran yang mengandung politik religius bagi Jepang. Lalu, menurut konstitusi tahun 1889, negara mendukung lebih dari 110.000 kuil Shinto dan kurang lebih 16.000 pendeta yang mendiami kuil-kuil milik negara tersebut. Di fase inilah ajaran asli Jepang yaitu agama Shinto mulai bangkit kembali dan menjadi agama kepemerinthan serta kembali sperti zaman Yamato saat itu.[14]

Dari uraian diatas dapat disimpulkan tahapan perkembangan agama Shinto kepada tiga tahapan yaitu :
1.    Masa perkembangan dengan pengaruh mutlak sepenuhnya di Jepang, dari tahun 660 SM sampai tahun 552 M, di dalam masa dua belas abad lamanya.
2.    Masa berasimlilasi dengan agama Budha, Konghuchu dan ajaran Tao masuk ke Jepang, dari tahun 552 M samapai tahun 800 M, dalam masa dua setengan abad itu agama Shintho beroleh saingan berat. Pada tahun 645 M Kaisar Koyoku merestui agama Bufha dan menyampingkan Kami-no-michi.
3.   Masa sinkronisasi secara berangsur-angsur antara agama Shinto dengan tiga ajaran agama lainnya, yaitu dari tahun 800 M samapai tahun 1700 M. Yang dalam masa sembilan abad itu pada akhirnya lahir Ryobu-Shinto di bangun oleh Kobo-Daishi (774-835 M) dan Kitabake Chikafuza (1293-1354 M) dan Ichijo Kanoyosi (1465-1500 M) dan lainnya (Sou’yb 1996:209).[15]
Zaman Edo atau sering juga disebut masa Tokugawa adalah zaman yang sangat berpengaruh bagi Jepang modern, bukan hanya karena zaman ini adalah satu masa sebelum Restorasi Meiji yang menjadi gerbang modernisasi di Jepang tetapi karena pada masa ini unsur-unsur budaya Jepang berkembang dengan pesat. Berbagai kemajuan Jepang dicapai pada masa ini, mulai dari lahirnya berbagai bentuk kesenian sampai sistem perekonomian yang maju, masyarakatnya pun tidak hanya mengalami kemajuan tetapi juga menjadi landasan terbentuknya masyarakat Jepang modern.
Shinzaburo membagi periode pemerintahan Tokugawa berdasarkan kemantapannya atas tiga periode :[16]
1.      Periode pertama tahun 1603-1632
Periode pertama adalah masa shogun Ieyashu (1603-1605) sampai pada masa shogun Hidetada (1605-1632). Pada periode ini berkembang aliran Konfusionis yang bertujuan demi kepentingan politik.
2.      Periode kedua tahun 1633-1854
Periode kedua adalah masa kemantapan keshogunan Tokugawa, yang diperintah oleh sepuluh generasi Tokugawa, dari Iemitsu (1633-1651) sampai shogun Ieyoshi (1837-1853)
3.      Periode ketiga tahun 1855-1867
Periode ketiga adalah masa kehancuran keshogunan Tokugawa hingga menyerahkan kekuasaan kepada kekaisaran (1853-1867) diperintah oleh tiga generasi Tokugawa yaitu Shogun Iesada, Iemochi dan Yoshinobu.

Pemerintah Tokugawa mengalami masa kejayaan yang panjang tetapi pada abad ke-19, kekuasaan Tokugawa mulai mengalami kemunduran. Kaum samurai makin mengalami kesulitan keuangan dan hutang yang terus meningkat. Di kota-kota mulai terjadi ketegangan-ketegangan antara pedagang kaya dengan rakyat miskin, di desa-desa mulai ada perbedaan antara yang memiliki tanah dan yang tidak memiliki tanah.[17]
Selain penyebab diatas, faktor lain yang meyebabkan runtuhnya pemerintahan Tokugawa adalah berikut ini:

a.      Kaikoku (Pembukaan Negara)
Selama kurang lebih 250 tahun Jepang menutup diri dari pengaruh luar. Jepang tidak menyadari adanya kemajuan-kemajuan yang diperoleh bangsa barat, terutama dalam bidang industri. Perkembangan kapitalisme mengakibatkan revolusi industri, sehingga bangsa barat melihat luar negeri untuk mencari daerah pemasaran bagi hasil industrinya dan mencari sumber bahan baku yang baru. Menjelang akhir abad ke-17 bangsa barat mendesak untuk mengadakan hubungan dagang dengan Cina dan Jepang. Bangsa barat yang pertama datang ke Jepang adalah Rusia.[18]
Pada tahun 1853 Amerika mengirimkan utusan yang dipimpin oleh Commodore Matthew.C. Perry yang masuk ke Jepang melalui teluk Edo. Perry membawa surat resmi dari presiden Amerika Serikat yang menyatakan ingin mengadakan hubungan dagang dengan Jepang dan juga dijelaskan bahwa kedatangan Perry adalah untuk meminta :
1.      Perlindungan bagi pelaut Amerika yang mengalami kecelakaan di laut.
2.   Pembukaan kota-kota pelabuhan bagi kapal-kapal Amerika untuk melakukan perbaikan kapal dan menambah perbekalan.
3.      Pembukaan kota-kota pelabuhan untuk perniagaan.
Setelah surat itu disampaikan, pemerintahan bakufu meminta waktu satu tahun untuk mempertimbangkan hal tersebut. Setahun kemudian Perry kembali lagi ke Jepang dengan membawa armada perangnya untuk memaksa Jepang agar mau membuka hubungan dengan Amerika. Perry tidak segan-segan mengancam dengan kekerasan. Rakyat Jepang menolak kedatangan bangsa asing dan mereka menyerukan slogan yang dikenal dengan Sonno Joi yang berarti hormati Tenno dan usir kaum biadab (maksudnya orang-orang asing). Mereka menunjukkan sikap yang anti terhadap bangsa asing. Di beberapa wilayah rakyat Jepang mengadakan kekacauan-kekacauan untuk mengusir bangsa Barat.
Pada tanggal 31 Maret 1854 pemerintah Tokugawa akhirnya menandatangani perjanjian dengan Amerika di Kanagawa yakni sebuah kampong nelayan di Yokohama, lalu Amerika menempatkan Konsul Jendral yang bernama Townsend Harris di Yokohama. Dengan demikian akhirnya Jepang dibuka setelah pengasingan yang berlangsung sepanjang 250 tahun dan tidak lagi merupakan sebuah negara terpencil dari masyarakat dunia.

b. Pemberontakan dalam Negeri
Sejak terjadinya pembukaan negara, pemberontakan dalam negeri semakin meningkat karena rakyat Jepang tidak menginginkan perjanjian tersebut ditandatangani oleh pemerintahan Tokugawa, terutama pihak kekaisaran karena perjanjian itu belum memperoleh izin dari kaisar. Penandatanganan perjanjian ini menimbulkan kekesalan dan gerakan anti pemerintahan bakufu yang diwakili oleh daimyo Tozama. Hal-hal yang mereka tentang antara lain adalah menentang adanya hubungan dagang dengan orang asing, menginginkan pengembalian fungsi politik kepada kaisar, dan ingin menegakkan kembali pemujaan terhadap Tenno dan agama Shinto serta kembali pada Shintoisme yang murni sebagai reaksi dari Ryobu Shinto dan Budhisme.[19]
Perjanjian dengan negara Barat juga membawa dampak dimana perdagangan berkembang pesat. Golongan petani merupakan produsen yang sangat membantu kehidupan golongan lain. Tetapi mereka sangat menderita karena diwajibkan membayar pajak yang sangat tinggi dengan sebagian hasil panen mereka. Ada semboyan yang berbunyi “kepada petani jangan diberi kehidupan maupun kematian” artinya bahwa setiap petani harus ditempatkan sebagai kelas masyarakat yang hanya wajib berproduksi dan membayar pajak.
Akibatnya kehidupan petani semakin sulit dan akhirnya banyak yang meninggalkan lahan pertaniannya dan menjadi buruh tani di tanah pertanian orang lain. Mereka juga mulai membentuk kelompok-kelompok untuk membela haknya dengan kekerasan, memberontak, dan melawan pemerintah. Pemberontakan petani yang tidak puas terhadap pemerintah semakin hari semakin mengacaukan keadaan Jepang saat itu. Disamping bencana alam dan bahaya kelaparan yang sering terjadi pada pemerintahan Tokugawa menambah semangat rakyat untuk meruntuhkan kedudukan shogun.
Akibat dari penandatanganan perjanjian tersebut, pemerintah Tokugawa tidak lagi memperoleh kepercayaan dari rakyat untuk melindungi mereka dari pengaruh luar dan tidak dapat memberikan perlindungan terhadap rakyatnya. Alasan ini dimanfaatkan oleh beberapa pihak yang ingin menggulingkan kekuasaan Tokugawa. Setelah terjadi beberapa peristiwa buruk, maka pada tahun 1867 pemerintah Tokugawa menyerahkan kekuasaan pada kaisar Meiji. Dengan demikian pemerintahan Tokugawa berakhir dan kekuasaan penuh berada di tangan kaisar.
Pada tahun 1853, komodor Matthew C. Perry dari Amerika Serikat memasuki     teluk Tokyo dengan kekuatan satu kuadron, sebanyak empat kapal. Ia kembali tahun berikutnya dan berhasil membujuk Jepang untuk membuat perjanjian persahabatan dengan negaranya. Pada tahun yang sama menyusul perjanjian-perjanjian serupa dengan Rusia, Inggris dan Belanda, sehingga Jepang kembali terbuka bagi dunia luar. Perjanjian-perjanjian tersebut diubah empat tahun kemudian menjadi perjanjian perdagangan, dan kemudian perjanjian yang serupa dibuat dengan Perancis.
Kejadian-kejadian tersebut berdampak meningkatkan tekanan arus sosial dan politik yang meggerogoti fondasi struktur feodal. Selama kira-kira satu dasawarsa terjadi kekacauan besar, sampai sistem feodal keshogunan Tokugawa runtuh pada tahun 1867 dan kedaulatan dikembalikan sepenuhnya kepada kaisar dalam Restorasi Meiji pada tahun 1868.
Runtuhnya pemerintahan Tokugawa merupakan berakhirnya zaman Edo yang ditandai dengan penyerahan kekuasaan Shogun Keiki kepada kaisar Meiji. Zaman baru ini disebut zaman Meiji yang berlangsung antaa 1868-1912. Kaisar Meiji juga dipanggil sebagai kaisar Mutsuhito. Sebagai pusat pemerintahan maka kota Edo diganti namanya dengan Kyoto, dan pada tahun 1869 ibu kota di pindahkan dari Kyoto ke Tokyo.[20]
Pada masa inilah Jepang bergerak memodernisasikan diri dalam segala bidang, yang dikenal dengan Restorasi Meiji, dimana Jepang membangun sistem pemerintahan, ekonomi bahkan budaya dengan mencontoh negara-negara Barat.
Masa Meiji (1868-1912) merupakan salah satu periode yang paling istimewa dalam sejarah bangsa-bangsa. Di bawah pimpinan Kaisar Meiji, Jepang bergerak maju sehingga hanya dalam beberapa dasawarsa mencapai apa yang diinginkan dimana di Barat memerlukan waktu berabad-abad lamanya. Hal yang dicapai tersebut adalah pembentukan suatu bangsa yang modern yang memiliki perindustrian modern, lembaga-lembaga politik modern, dan pola masyarakat yang modern. Golongan-golongan lama yang selama masa feodal membuat masyarakat terbagi dihapuskan. Seluruh negari terjun dengan semangat dan antusiasme ke dalam studi dan pengambilalihan peradaban Barat modern.
Perekonomian pada masa Tokugawa masih sangat terbatas dan hanya bersifat perdagangan antar daerah melalui laut pedalaman dan hanya berkisar pada beras dan tekstil. Ini dipengaruhi oleh sikap samurai yang memandang rendah kepada perdagangan dan segala hal yang bersangkutan dengan uang. Selain itu, pemerintah Tokugawa juga melarang untuk mengadakan hubungan dengan luar negeri.
Maka setelah Restorasi Meiji, perekonomian Jepang memperoleh kesempatan yang baik untuk mulai berkembang dengan melakukan pembaharuan-pembaharuan. Pembaharuan yang paling utama adalah penghapusan sistem feodal yang diterapkan oleh Tokugawa, sehingga terbukalah peluang untuk rakyat Jepang terhadap pendidikan yang meniru sistem pendidikan dunia Barat, selain dengan menerapkan sistem moneter, sistem pajak yang memungkinkan berkembangnya kapitalis atau kaum pemodal. Selain itu, pemerintah Meiji juga mendatangkan tenaga-tenaga ahli dan mengimpor mesin-mesin pabrik untuk ditiru, sehingga Jepang mampu membangun dan memodernisasikan industrinya.
Sangat menarik di saat masyarakat modern mulai meninggalkan kepercayaan kuno semacam Animisme, masyarakat jepang justru tetap mempertahankan dan melestarikannya. Berikut alasannya mengapa Shinto masih tetap eksis di Jepang:[21]
1.      Menerima ajaran baru tanpa harus membuang kepercayaan lama
Konsep monotheisme, merupakan konsep yang sudah diterima secara luas oleh kebanyakan orang Jepang. Namun, cara penerimaan konsep baru ini tergolong unik, yaitu bukan dengan cara membuang kepercayaan lama namun  cukup hanya memperbaiki konsep polyteisme saja. Mereka sudah mengenal konsep Kami yang artinya dewa, tuhan, dan lain sebagainya.
2.      Shinto dianggap menjunjung tinggi kebebasan
Kebebasan disini mempunyai arti luas khususnya dalam hal agama dan kepercayaan. Seperti tidak ada keharusan bagi seorang pemeluk Shinto untuk mendatangi kuil dan juga tidak ada keharusan untuk berdoa atau sembahyang di dalamnya dan dilain pihak mereka juga bisa bebas memasuki atau bahkan berdoa di tempat agama lain tanpa hambatan karena Shinto sendiri tidak memiliki ajaran untuk mengharuskan ataupun melarang hal itu. Hal ini sering dianggap sebagai salah satu kelebihan yang tidak dimiliki oleh ajaran agama baru.
Orang Jepang sama sekali tidak membutuhkan agama dan Shinto sangat sesuai dengan keinginan mereka karena dari awal Shinto bukanlah agama dan kuil sering dianggap sebagai symbol kebebasan yaitu bebas symbol, doktrin dan dogma-dogma.
3.      Menjunjung tinggi toleransi
Ketaatan yang tinggi terhadap suatu agama atau kepercayaan bisa melahirkan kefanatikan. Kefanatikan dalam satu sisi bisa bermakna positif maupun negatif. Karena agama di Jepang dianggap tidak lebih dari kebiasaan, tradisi atau budaya semata maka sifat fanatik yang berlebihan terhadap agama tertentu khususnya Shinto nyaris tidak ada. Agama apapun bisa berkembang dengan bebas dan damai di negara tersebut tanpa terkecuali. Pluralisme agama diterima tanpa ada hambatan. Bangunan kuil Budha dan Shinto yang berdekatan lokasi bisa dijadikan salah satu contoh kecil.
4.      Kepercayaan lama dirasa lebih memahami permasalahan mereka sehari hari
Selain “kebebasannya”, agama ini juga diterima secara luas karena dirasa lebih dekat atau lebih “memahami” permasalahan mereka sehari hari. Misalnya berbagai festival atau upacara budaya yang ada seperti festival tanam padi, peergantian musim, atau bahkan ritual peluncuran produk baru untuk kasus yang lebih modern.

Berikut video untuk mengetahui lebih lanjut apa itu agama Shinto:


                               Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=LoQqxdAbRS0

        


          
                        Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=RgQ4eCc38dM&t=140s



[1] Joesoef Sou’yb, Agama-agama Besar di Dunia (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1983), h. 207
[2] Joesoef Sou’yb, Agama-agama Besar di Dunia (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1983), h. 208
[3] Joesoef Sou’yb, Agama-agama Besar di Dunia (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1983), h. 208
[4] Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-agama Minor  (Jakarta: UIN Press, 2013), h.33
[5]  M Ali Imron, Sejarah Terlengkap Agama-Agama Di Dunia, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015), h.308-310
[6] Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-agama Minor  (Jakarta: UIN Press, 2013), h.34
[7] M Ali  Imron, Sejarah Terlengkap Agama-Agama Di Dunia, h.  308

[8]  A. Mukti Ali, dkk, Agama-Agama Dunia, (Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), h.236-237
[9] Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-Agama Minor  (Jakarta: UIN Press, 2013), h.35
[10] Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-Agama Minor  (Jakarta: UIN Press, 2013), h.35
[11]  M Ali  Imron, Sejarah Terlengkap Agama-Agama Di Dunia, h.311-312
[12] Djam’annuri, Agama Jepang (Yogyakarta: PT Bagus Arafah, 1981), h. 13
[13] http:// Research-dashboard.binus.ac.id      
[14] M Ali, Imron, Sejarah Terlengkap Agama-Agama Di Dunia, h.313
[15] Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-agama Minor , h.32
[16] Hamzon Situmorang, Perubahan Kesetiaan Bushi dari Tuan kepada Keshogunan dalam Feodalisme Zaman Edo (1603-1868) di Jepang, Medan: USU Press, 1955,  h. 41
[17] Sayidiman Suryanadiprojo, Manusia dan Masyarakat Jepang dalam Perjuangan Hidup, Jakarta: UI Press, 1982, h. 21
[18] Nurhayati Yeti, Langkah-langkah Awal Restorasi Jepang, Jakarta: PT Dian Rakyat, 1987, h. 33
[19] Nurhayati Yeti, Langkah-langkah Awal Restorasi Jepang, Jakarta: PT Dian Rakyat, 1987 h. 45
[20] Ketut Suradjaja, Pergerakan Demokrasi Jepang, Jakarta: Karya Uni Press, 1984,  h. 21
[21]Nyoman ardika, Mengenal Agama Shinto, http://www.eonet.ne.jp/~limadaki/budaya/jepang/artikel/utama/agama_shinto.html#ue, diakses 8 November 2017, jam 11.30 WIB.
Asal-Usul Dan Sejarah Agama Shinto Asal-Usul Dan Sejarah Agama Shinto Reviewed by Kelompok 7 on November 23, 2017 Rating: 5

1 komentar

  1. Blog yang menarik, mengingatkan saya akan keindahan dan keteduhan suatu tempat sangatlah luar biasa hingga dapat diganggap setiap elemen alam ini adalah ilahi. Gunung, lautan dan sungai semuanya adalah roh ilahi atau dewa (‘kami’ dalam Bahasa Jepang), sebagaimana halnya matahari, bulan dan Bintang Utara.
    Saya mencoba menulis blog tentang hal ini, semoga anda juga suka http://stenote-berkata.blogspot.com/2020/07/wawancara-dengan-haruki.html

    BalasHapus